Rabu, 03 Desember 2008

Sosialisasi Sunset Policy dan Undang-undang PPh Tahun 2008

1. Pemaparan materi Sunset Policy oleh Bapak Herry Sumardjito ( Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus )

Pada sesi ini, Bapak Raden Setyadi Aris Handono bertindak sebagai moderator. Adapun Bapak Herry Sumardjito ( Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus sekaligus narasumber ) menekankan pentingnya pajak bagi pembangunan negara karena lebih dari 70 % APBN negara kita ditunjang oleh penerimaan pajak. Wajib Pajak dapat dikatakan pahlawan dalam mengisi kemerdekaan dalam peran sertanya membangun bangsa. Bapak Herry Sumardjito menerangkan poin-poin penting tentang filosofi sunset policy dan materi sunset policy.

Kebijakan sunset policy berawal dari rencana kebijakan tax amnesty. Setelah dibahas dengan pihak-pihak terkait, baik dari institusi, asoasiasi, kalangan akademik dan lain-lain ternyata usulan tax amnesty tidak disetujui. Oleh karena itu dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( KUP ) yang baru disisipkanlah soft amnesty yang berupa pasal 37A. Tanda huruf ‘A’ besar menunjukkan bahwa ini adalah pasal baru. Sebelum adanya kebijakan ini, pada tahun 1983 telah diadakan kebijakan tax amnesty namun tidak berhasil karena tidak ada landasan hukum dalam Undang-undang atau pasal yang berisi tax amnesty.

Filosofi tentang sunset policy berawal dari ketentuan pasal 2 ayat ( 1 ) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi: ” Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) .”

Di pasal tersebut dijelaskan bahwa saat dimulainya kewajiban perpajakan yakni ber-NPWP adalah terpenuhinya syarat subjektif dan objektif. Yang dimaksud syarat subjektif yakni setiap warga negara Indonesia yang lahir dan bertempat tinggal di Indonesia atau Orang Asing yang tinggal lebih dari 183 ( seratus delapan puluh tiga ) hari berturut-turut dalam 1( satu ) tahun atau berniat untuk tinggal di Indonesia maka telah memenuhi syarat subjektif untuk menjadi wajib pajak. Pada Undang-undang KUP disebutkan kata ‘dan’ yang berarti syarat kumulatif artinya apabila sudah memenuhi syarat subjektif tidak serta merta wajib ber-NPWP. Disamping syarat subjektif ada syarat objektif. Yang dimaksud syarat objektif adalah memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ) yang besarnya diatur dalam Undang-undang. Dalam UU PPh Tahun 2008 diatur bahwa besar Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ) adalah Rp. 15.840.000,- untuk Wajib Pajak dengan status tidak kawin. Besar PTKP tersebut akan bertambah apabila mempunyai tanggungan dimana besarnya adalah Rp. 1.320.000,- per orang. Tanggungan tersebut dapat terdiri dari seorang istri dan atau maksimal 3 ( tiga ) orang anak/tanggungan. Jumlah PTKP juga bertambah jika terjadi penggabungan penghasilan dari suami istri yang tidak pisah harta, dimana PTKP dari masing-masing dari suami dan istri adalah Rp. 15.840.000,-.

Apabila kedua syarat terpenuhi maka timbul kewajiban pajaknya yakni wajib mendaftar ke Kantor Pelayanan Pajak ( KPP ) tempat domisili untuk mendapatkan NPWP. Tidak ada alasan bagi Wajib Pajak untuk mengelak dari kewajiban ber-NPWP. Untuk Wajib Pajak yang sudah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif tetapi agak “rewel atau bandel” diatur ketentuan Pasal 2 ayat ( 4 ) Undang-Undang KUP yakni “Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).” Pasal ini memberi kewenangan bagi petugas Direktorat Jenderal Pajak untuk menerbitkan NPWP secara jabatan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan data-data yang diperoleh atau melalui program ekstensifikasi Wajib Pajak.
Untuk menunjang kebutuhan data-data dan keterangan maka muncul pasal baru dalam Undang-undang KUP yakni pasal 35A ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) yang berbunyi :

“(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). “

(2) Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).”

Ketentuan tersebut mengatur bahwa setiap institusi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain atau dapat diartikan bahwa semua pihak di Wilayah Republik Indonesia Wajib untuk memberikan data apabila diminta oleh Direktorat Jenderal Pajak. Ke depan Direktorat Jenderal Pajak akan meminta data ke semua instansi. Apabila kewajiban memberikan data tidak dipenuhi maka ada ancaman yang berupa sanksi pidana yang dijelaskan di pasal 41C Undang-undang KUP. Adapun bunyi pasal 41C Undang-undang KUP adalah :

(1) “ Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ”

Sebagai wujud dari implementasi pasal 35A Undang-undang KUP, Direktorat Jenderal Pajak membentuk sebuah unit setingkat eselon II yang disebut Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan. Semua proses pengolahan data akan terintegrasi di unit ini, semua SPT dan data-data dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain akan masuk dan diolah untuk dapat diteliti dan disandingkan sehingga Direktorat Jenderal Pajak akan menjadi pusat pengolahan data yang terbesar di Indonesia. Pembentukan Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan ini bercermin dari keberhasilan pemerintah Australia dalam membentuk sebuah Data Processing Center ( Pusat Pengolahan Data ) yang dapat mengintegrasikan dan menyandingkan data-data dengan sangat baik sehingga tidak ada orang yang dapat lari atau menyembunyikan data-data atau dokumen yang berkenaan dengan kewajiban perpajakannya. Untuk masa yang akan datang Direktorat Jenderal Pajak akan dapat mengetahui data-data atau dokumen yang berkenaan dengan kewajiban perpajakan dengan sangat baik.

Memahami proses kinerja Direktorat Jenderal Pajak di masa depan dan menyadari banyak kewajiban perpajakan yang dilaksanakan dengan kurang atau tidak benar dan bahkan banyak juga yang belum mempunyai NPWP maka ada usulan dari para wakil rakyat di DPR agar dirumuskan sebuah kebijakan untuk meringankan para Wajib Pajak agar tidak dikenai sanksi yang berat atau sanksi pidana di bidang perpajakan. Dirumuskanlah pasal 37A ayat ( 1 ) yang berkenaan dengan keringanan bagi Wajib Pajak yang selama ini pelaksanaan kewajiban pajaknya belum atau tidak benar dan pasal 37A ayat ( 2 ) yang berkenaan keringanan bagi Wajib Pajak yang belum ber-NPWP. Batas waktu atau cut of date dari kebijakan tersebut adalah tahun pajak 2007 karena tahun tersebut Undang-undang KUP disahkan sehingga setiap orang dianggap telah mengetahui dan memahami ketentuan perpajakan yang baru.dan berlaku sebatas 1 ( satu ) tahun atau berakhir pada 31 Desember 2008.

Dalam ketentuan pasal 37A dijelaskan bahwa keringanan yang diberikan “ dapat berupa pengurangan atau penghapusan yang diatur oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia ”. Setelah melakukan diskusi dan pembahasan maka dipertimbangkan bahwa kurang menarik jika hanya diberikan pengurangan karena besarnya pengurangan dapat bermacam-macam, dapat 10 %, 20 % atau 30 %, dan lain-lain sehingga besar pengurangan dapat menjadi tidak sama. Oleh karena itu keringanan yang diberikan adalah penghapusan sanksi administrasi bunga. Seusai amanat pasal 37A bahwa Menteri Keuangan berwenang mengurangi atau menghapus maka yang dipilih adalah menghapuskan sanksi administrasi.

Wajib Pajak sudah mendapat kesempatan yang cukup, sudah dijelaskan melalui sosialisasi, iklan, berita, tulisan dan lain-lain. Sangat disayangkan jika Wajib Pajak bersikap apatis terhadap sunset policy. Sanksi yang akan diberikan sangat berat jika di kemudian hari ditemukan data-data atau dokumen yang menunjukkan adanya kesengajaan untuk tidak ber-NPWP atau tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar. Di Pasal 39 diantaranya diterangkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak; tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”. Sanksi yang dikenakan bersifat kumulatif yakni sanksi denda dan penjara. Oleh karena itu dihimbau kepada para peserta yang hadir agar menyampaikan kepada atasannya untuk memanfaatkan sunset policy.

Direktorat Jenderal Pajak akan mengelompokkan para Wajib Pajak yang memanfaatkan sunset policy dan yang tidak memanfaatkan sunset policy. Dengan memanfaatkan Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan, semua data dan dokumen perpajakan akan dimanfaatkan dan disandingkan. Misalnya ditemukan bahwa seharusnya omzet / peredaran usaha sebesar 2 ( dua ) milyar tetapi cuma dilaporkan 1 ( satu ) milyar. Atas selisih yang 1 ( satu ) milyar tersebut akan ditelusuri dan diperiksa. Jika ada unsur tindak pidana di bidang perpajakan sebagimana dimaksud dalam pasal 39 Undang-undang KUP maka dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk memeriksa apakah ada unsur pidana di bidang perpajakan. Jika sudah terbukti melalui penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak ditemukan ada unsur tindak pidana yang merugikan negara maka akan dibuat P21 untuk ditindaklanjuti oleh pihak kejaksaan. Untuk menindak Wajib Pajak yang terindikasi sengaja melanggar ketentuan dan tidak melaksanakan kewajibannya dengan benar maka di tahun 2008 ini Direktorat Jenderal Pajak membentuk sebuah unit Direktorat Intelejen dan Penyidikan yang berwenang untuk memproses tindak pidana perpajakan melalui proses penyidikan yang diawali dengan pemeriksaan bukti permulaan adanya tindak pidana di bidang perpajakan.

Adapun materi sunset policy yang diatur dalam Pasal 37A menyangkut Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri baik Pajak Penghasilan Orang Pribadi atau Pajak Penghasilan Badan. Jadi kebijakan sunset policy hanya menyangkut Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri dengan prinsip self asseement. Sunset policy dapat dilakukan mulai tahun pajak 2006 dan tahun-tahun pajak sebelumnya. Kalau mengacu pada ketentuan masa daluwarsa pajak maka perlu atau tidaknya sunset policy harus diteliti oleh Wajib Pajak sendiri dalam kurun waktu 10 ( sepuluh ) tahun. Kalau melihat fenomena alam bahwa keindahan sunset ( matahari terbenam ) hanya dapat dinikmati dalam waktu yang tertentu dan terbatas atau singkat maka begitu juga dengan kebijakan sunset policy di bidang perpajakan hanya dapat dinikmati di tahun 2008 dan cuma berlaku selama 1 (satu) tahun. Apabila sekarang sudah tanggal 25 Nopember 2008 maka waktu yang tersisa tinggal hitungan hari. Untuk memberi pelayanan yang memuaskan bagi Wajib Pajak yang ingin memanfaatkan sunset policy dikeluarkan SE-66/PJ/2008 tentang Pelayanan Kepada Wajib Pajak Sehubungan Dengan Berakhirnya Program Sunset Policy. Dalam surat edaran tersebut disampaikan bahwa Kantor Pelayanan Pajak di seluruh Indonesia tetap buka pada hari Sabtu tanggal 6, 13 dan 20 Desember 2008 serta pada tanggal 30 dan 31 Desember 2008 jam kerja diperpanjaang hingga pukul 19.00 waktu setempat.

Yang dibayar dalam sunset policy adalah pokok pajak yang kurang dibayar. Misalnya dalam melaksanakan sunset policy terdapat pembetulan jumlah omzet yang semula dari 1 milyar menjadi 1,5 milyar, selain penghasilan atau laba dalam perubahan tersebut juga terdapat biaya-biaya yang dilaporkan. Apabila pembetulan tersebut mengakibatkan jumlah penghasilan menjadi lebih besar atau timbul pajak penghasilan yang kurang dibayar. Atas pajak yang kurang dibayar tersebut Wajib Pajak cukup menyetorkan jumlah pajak yang kurang bayar tanpa membayar atau dikenakan sanksi administrasi bunga dengan Surat Setoran Pajak ( SSP ) PPh Pasal 29 ex. Pasal 37A UU KUP.

Dalam beberapa kali seminar dan sosialisasi, Narasumber menghadapi beberapa pertanyaan, antara lain : ada Wajib Pajak yang sudah diperiksa dan sudah terbit Surat Ketetapan Pajak ( SKP ), apakah masih bisa memanfaatkan sunset policy. Narasumber menjelaskan bahwa meskipun sudah terbit Surat Ketetapan Pajak ( SKP ), sesuai pasal 15 Undang-undang KUP Direktorat Jenderal Pajak masih dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan jika ditemukan data baru yang menunjukkan adanya pajak-pajak yang kurang dibayar. Namun dalam Undang-undang baru ini Wajib Pajak masih diberi kesempatan untuk dapat memanfaatkan sunset policy meskipun sudah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak ( SKP ). Ketentuan sunset policy berdasarkan Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersifat khusus dan hanya berlaku untuk jangka waktu terbatas sehingga beberapa ketentuan umum yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak berlaku. Ketentuan umum yang tidak berlaku sehubungan dengan sunset policy seperti ketentuan yang terkait dengan pembatasan jangka waktu pembetulan SPT Tahunan PPh paling lama 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dan persyaratan belum dilakukan pemeriksaan. Jadi dengan kesadarannya sendiri Wajib Pajak dapat membetulkan SPT-nya dalam rangka sunset policy meskipun sudah terbit Surat ketetapan Pajak dan cukup membayar pokok pajak yang kurang dibayar.

Mengingat waktu yang terbatas maka Bapak Herry Sumardjito mengharapkan para peserta untuk lebih interakatif dengan aktif bertanya sehingga para peserta dapat memahami kebijakan sunset policy dengan baik karena sayang sekali jika peluang memanfaatkan sunset policy terlewatkan.



2. Pemaparan materi UU PPh Tahun 2008 oleh Bapak Saefudin (Tim Penyusun UU PPh)

Undang-undang Pajak Penghasilan termasuk Undang-undang yang cukup lama dibahas sebelum pada akhirnya disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 September 2008 dan diberi nomor 36 ( tiga puluh enam ). Undang-undang PPh yang baru adalah Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Banyak ketentuan yang beubah dalam Undang-Undang PPh yang baru. Adapun pokok-pokok perubahannya meliputi :

1. SUBJEK PAJAK

Perluasan Pengertian Bentuk Usaha Tetap meliputi:
a. Gudang;
b. Ruang untuk promosi dan penjualan; dan
c. Dedicated server untuk kegiatan usaha melalui internet

Alasan Perubahan:

a. Memperluas hak pemajakan dengan menegaskan gudang dan ruang untuk promosi dan penjualan yang dipergunakan oleh WP luar negeri sebagai BUT;
b. Untuk menampung/mengantisipasi perkembangan perdagangan seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilakukan secara on-line (e-commerce)

2. OBJEK PAJAK

a. Pengalihan Hak di Bidang Pertambangan

Menegaskan keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan di sektor hulu migas merupakan objek pajak (Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 5).

Alasan perubahan:

Hak/Interest di Bidang Pertambangan hulu migas adalah hak penambangan yang ketentuannya diatur tersendiri.
Pengalihan hak tersebut kepada pihak lain dapat menyebabkan pemegang hak memperoleh keuntungan (capital gain )

b. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah

Penghasilan dari kegiatan usaha berbasis syariah ditegaskan sebagai objek pajak.

Alasan Perubahan:

Perlakuan yang sama antara kegiatan usaha berbasis syariah seperti bank syariah dan lembaga keuangan syariah lain dengan kegiatan usaha dan bank serta lembaga keuangan konvensional

c. Imbalan bunga

Imbalan bunga yang diperoleh WP sehubungan dengan pelaksanaan UU KUP ditegaskan sebagai objek pajak.

Alasan Perubahan:

Memberi penegasan dan dasar hukum yang lebih kuat bagi fiskus untuk mengenai pajak atas imbalan bunga yang diterima WP.

d. Bunga Obligasi yang Diterima atau Diperoleh Reksadana

Ketentuan pengecualian bunga obligasi yang diterima reksadana (Pasal 4 ayat (3) huruf j) sebagai objek PPh dicabut sehingga dalam RUU PPh penghasilan tersebut merupakan objek pajak.

Alasan Perubahan:

Menghilangkan distorsi dan kompetisi yang kurang sehat di antara institusi keuangan dan menciptakan kesetaraan pemungutan pajak (level playing field) terhadap para WP yang berinvestasi di obligasi.

e. Surplus Bank Indonesia

Surplus Bank Indonesia ditegaskan sebagai objek pajak.

Alasan Perubahan:

Menyelaraskan dengan ketentuan UU BI yang menyatakan bahwa sepanjang tidak ada UU yang mengatur bahwa Surplus BI dikenai PPh maka Surplus BI tidak dikenai PPh.

3. OBJEK PAJAK PASAL 4 AYAT (2)

Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang selama ini tidak secara eksplisit diatur dalam ketentuan ini, seperti antara lain:
a. Bunga obligasi dan Surat Utang Negara
b. Hadiah undian
c. Pengalihan saham pasangan perusahaan modal ventura
d. Persewaan tanah dan bangunan

Memindahkan bunga simpanan koperasi yang sekarang dikenai PPh Pasal 23 final menjadi objek PPh Pasal 4 ayat (2) final.

Menambah objek PPh Pasal 4 ayat (2) final meliputi:
a. Penghasilan dari transaksi derivatif; dan
b. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan real estate


4. PENGECUALIAN DARI OBJEK PAJAK

a. Zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia

Sama dengan zakat, sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluknya ditegaskan juga bukan merupakan objek pajak (syarat, dan lain-lain diatur dengan PP)

Alasan Perubahan:

Memberikan perlakuan yang setara bagi semua WP tanpa memandang agama yang dianut.

b.Inter corporate dividend

Syarat memiliki usaha aktif bagi WP yang menerima inter-corporate dividend dihapus.

Alasan Perubahan:

Tidak ada batasan yang tegas mengenai usaha aktif sehingga syarat ini sering menimbulkan perbedaan pendapat antara fiskus dan WP.

c. Beasiswa
Beasiswa dikecualikan sebagai Objek Pajak (syarat, dll diatur dengan PMK)

Alasan Perubahan:

Mendorong peran serta masyarakat (WP) untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan

d.Bagian laba unit penyertaan KIK
Bagian laba yang diterima atau diperoleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) bukan merupakan Objek Pajak.

Alasan Perubahan:

Mengangkat ketentuan perlakuan KIK yang dipersamakan dengan firma atau kongsi yang selama ini hanya ditegaskan dalam SE, yaitu penghasilan reksadana hanya dikenai pajak pada tingkat badan dan penghasilan dari redemption yang diperoleh pemegang unit penyertaan KIK tidak dikenai pajak. .

e. Sisa lebih lembaga nirlaba bidang pendidikan dan bidang penelitian dan pengembangan

f. Bantuan/santunan yang diterima dari BPJS

Bantuan/santunan dari BPJS yang diterima WP tertentu bukan merupakan Objek Pajak (ketentuan lebih lanjut diatur dengan atau berdasarkan PMK).

Alasan Perubahan:

Mendukung program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kurang mampu melalui pembentukan Sistem Jaminan Sosial Nasional.



5. BIAYA PENGURANG PENGHASILAN BRUTO

a. Biaya Promosi dan Penjualan

Biaya Promosi dan Penjualan ditegaskan sebagai pengurang penghasilan bruto yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK.

Alasan Perubahan:

Biaya promosi dan penjualan dapat muncul dalam berbagai bentuk dan bergantung pada jenis usaha WP sehingga perlu diatur secara khusus dalam PMK termasuk besaran biaya tersebut yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

b. Biaya Beasiswa

c.Piutang Tak Tertagih

Syarat untuk membiayakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dipermudah menjadi:

i.) telah dibiayakan dalam laporan laba rugi komersial;
ii.) WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP; dan
iii.) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang
negara; atau ada perjanjian tertulis dengan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau ada pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan.
iv.) Syarat nomor 3 tidak berlaku bagi piutang debitur kecil yang dihapuskan.

Alasan Perubahan:

Memberikan keringanan syarat penghapusan piutang tak tertagih untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan yang timbul karena syarat yang berlaku sekarang.

d.Pemupukan Dana Cadangan

e. Sumbangan yang dapat dibiayakan

Sumbangan yang dapat dibiayakan meliputi:
i.) sumbangan penanggulangan bencana nasional
ii.) sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
iii.) biaya pembangunan infrastruktur sosial
iv.) sumbangan fasilitas pendidikan
v. ) sumbangan pembinaan olahraga

Alasan Perubahan:

Memberikan insentif atau dorongan kepada masyarakat (WP) agar secara langsung berperan serta dalam membantu penanggulangan korban bencana dan peningkatan kualitas hidup dan prestasi bangsa.


6. ISTERI YANG MEMILIH UNTUK MEMILIKI NPWP SENDIRI

Penghasilan suami-isteri dikenakan pajak secara terpisah apabila dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.

Tata cara penghitungan PPh terutang sama dengan suami-isteri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.

Alasan Perubahan:

Singkronisasi dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa wanita kawin dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atas namanya sendiri agar dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.

7. NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO

Batas peredaran usaha untuk dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dinaikkan dari Rp 600 juta menjadi sebesar Rp 4,8 miliar.

Alasan Perubahan:

Menyesuaikan dengan tingkat perekonomian saat ini.

Keterangan:

Ketentuan ini sejalan dengan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi:

Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

8. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK

Sekarang UU
(Rp) (Rp)
WP 13.200.000,- 15.840.000,-
WP Kawin 1.200.000,- 1.320.000,-
Isteri Bekerja 13.200.000,- 15.840.000,-
Tanggunan 1.200.000,- 1.320.000,-
Maks. Tanggungan K/3 K/3


9. TARIF

TARIF (PASAL 17)

a. Tarif WP Orang Pribadi (Pasal 17 ayat (1) huruf a)

Ketentuan Sekarang:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak :

1. sampai dengan Rp 25.000.000,00 tarifnya 5%

2. di atas Rp 25.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00 tarifnya 10%

3. di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 tarifnya 15%

3. di atas Rp 100.000.000,00 s.d. Rp 200.000.000,00 tarifnya 25%

4. di atas Rp 200.000.000,00 tarifnya 35%


UU Baru :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak :

1. sampai dengan Rp 50.000.000,00 tarifnya 5%

2. di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 tarifnya 15%

3. di atas Rp25.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00 tarifnya 25%

4. di atas Rp 500.000.000,00 tarifnya 30%



b. PENURUNAN TARIF LAPISAN TERTINGGI WP OP (Pasal 17 ayat (2))

Tarif tertinggi PPh orang pribadi dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Alasan Perubahan:

Agar tarif lapisan tertinggi PPh OP dapat diturunkan jika dipandang perlu untuk disesuaikan dengan penurunan tarif PPh badan.

c. Tarif WP Badan (Pasal 17 ayat (1) huruf b)

Ketentuan Sekarang

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak :

1. sampai dengan Rp 50.000.000,00 tarifnya 10%

2. di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 tarifnya 15%

4. di atas Rp 100.000.000,00 tarifnya 30%


UU:

i.) Tarif tunggal sebesar 28% untuk tahun pajak 2009.
ii.) Mulai tahun 2010 diturunkan menjadi 25%.

Alasan Perubahan:

i.) Tarif tunggal selaras dengan prinsip netralitas dalam pengenaan pajak atas WP badan.
ii.) Tarif diturunkan secara bertahap untuk meningkatkan daya saing dengan negara-negara lain dalam menarik investasi
luar negeri

d.Tarif WP PerseroanTerbuka (Pasal 17 ayat (2b)

WP badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka memeroleh penurunan tarif sebesar 5% dari tarif WP badan yang berlaku sepanjang memenuhi syarat:

i.) paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
ii.) persyaratan tertentu lainnya.

Alasan Perubahan:

Penurunan tarif ini dimaksudkan untuk meningkatkan peranan pasar modal sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan mendorong peningkatan jumlah perseroan terbuka dan kepemilikan publik pada perseroan terbuka.

e. Tarif Dividen yang diterima WP orang pribadi dalam negeri (Pasal 17 ayat (2c))

Tarif yang dikenakan atas dividen yang diterima WP OP dalam negeri adalah setinggi-tingginya sebesar 10% dan bersifat final (diatur lebih lanjut dengan PP).

Alasan Perubahan:

i.) UU PPh tetap menganut classical system sehingga dividen tetap merupakan objek pajak.
ii.) Namun, perlu diberikan insentif berupa tarif PPh yang rendah atas dividen:
*) agar beban pajak yang ditanggung pemegang saham orang pribadi dapat dikurangi;
*) untuk mendorong perusahaan agar mendistribusikan penghasilannya kepada para pemegang saham;
*) karena investasi dalam bentuk penyertaan modal mengandung risiko yang lebih besar daripada investasi dalam
dentuk deposito dan obligasi;
iii.) Tarif final memberikan kesederhaan administrasi bagi WP dan DJP.

10. PENCEGAHAN PENGHINDARAN PAJAK (PASAL 18)

a. Pembelian saham atau aset perusahaan WP dalam negeri melalui Spesial Purpose Company (SPC).

PASAL 18 AYAT (3b) :

Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.

b. Penjualan saham SPC di tax haven country yang memiliki saham WP dalam negeri.

PASAL 18 AYAT (3c) :

Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau Special Purpose Company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.

c. Pembayaran gaji ekspatriat yang ditempatkan oleh perusahaan induk di luar negeri untuk bekerja sebagai pegawai perusahaan/WP dalam negeri yang merupakan anak perusahaannya.

PASAL 18 AYAT (3d) :

Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut

11. PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN

Pembedaan tarif pemotongan/pemungutan:
a. Tarif bagi WP ber-NPWP
b. Tarif bagi WP tidak ber-NPWP

Alasan Perubahan:

Tarif lebih tinggi bagi WP yang tidak ber-NPWP untuk mendorong WP tersebut mendaftar dan memperoleh NPWP.


c. Saat Terutang

Ketentuan saat terutang PPh Pasal 23/26 pada saat biaya dibebankan (diakui) dalam pembukuan dihapuskan.


Saat terutang PPh Pasal 23/26 menjadi:
i.) Saat dibayarkan;
ii.) Saat disediakan untuk dibayarkan; dan
iii.) Ketika pembayarannya telah jatuh tempo.

Alasan Perubahan:

Pengakuan beban biaya dalam pembukuan (akhir tahun buku) tidak menjadikan timbulnya kewajiban pembayaran atau hak atas suatu penghasilan.

d. Perluasan Objek PPh Pasal 22

WP yang membeli barang yang tergolong sangat mewah dipungut PPh Pasal 22 sebagai pembayaran PPh tahun berjalan.

Alasan Perubahan:

Pembelian barang yang tergolong sangat mewah mencerminkan potensi kemampuan ekonomis (penghasilan) yang sangat besar yang pajaknya kemungkinan belum sepenuhnya dibayar.

e. Perubahan tarif PPh Pasal 23
Tarif PPh Pasal 23 yang semula hanya 15% diubah menjadi sebagai berikut:
i.) 15% dari peredaran bruto atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya;
ii.) 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.


Alasan Perubahan:
Memberikan kesederhanaan pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa-jasa dengan menerapkan tarif tunggal 2%.

f. Penegasan dan Perluasan Objek PPh Pasal 26

Perluasan objek baru:
Keuntungan karena pembebasan utang

Penegasan:
Premi swap ditempatkan pada butir tersendiri dan diperluas menjadi: premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;

Alasan Perubahan:

i.) menambah objek baru yang selama ini tidak bisa dilakukan pemotongan.
ii.) menegaskan bahwa premi swap tidak sama dengan bunga

12. KREDIT PAJAK LUAR NEGERI (PASAL 24)

Ketentuan mengenai penentuan sumber penghasilan diperluas meliputi:

a. sumber penghasilan dari pengalihan hak penambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
b. sumber penghasilan dari pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada;
c. sumber penghasilan dari pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat
bentuk usaha tetap berada.

13. ANGSURAN PAJAK TAHUN BERJALAN

a. Penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP yang wajib membuat laporan keuangan berkala.
Seluruh perusahaan yang diwajibkan membuat laporan keuangan berkala dapat membayar angsuran berdasarkan laporan keuangan berkala tersebut.

Alasan Perubahan:

i.) Pembayaran angsuran dapat lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
ii.) Meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak.

b. PPh Pasal 25 WP Orang Pribadi Tertentu.

Besarnya PPh Pasal 25 bagi WP OP pengusaha tertentu ditetapkan paling tinggi sebesar 0,75% dari peredaran bruto.

Alasan Perubahan:

i.) Membantu meringankan beban pajak bulanan dan meningkatkan likuiditas WP OP pengusaha tertentu (pengecer)
dengan cara memperkecil jumlah PPh Pasal 25 yang dibayar tiap bulan.
ii.) Penghasilan WP OP Tertentu tetap dikenai PPh dengan tarif umum sehingga sebagian besar jumlah PPh yang terutang
akan dilunasi pada akhir tahun pajak (pembayaran PPh Pasal 29).

c. Fiskal Luar Negeri.

Fiskal Luar Negeri (FLN) hanya wajib dibayar oleh WP yang bertolak ke luar negeri yang telah berusia lebih dari 21 tahun dan belum memiliki NPWP.

Ketentuan ini berlaku sampai dengan tahun 2010 sehingga mulai tahun 2011 seluruh WP yang bertolak ke luar negeri tidak perlu membayar FLN.

Alasan Perubahan:

i.) Mendorong WP untuk mendaftar sebagai Wajib Pajak dan memiliki NPWP.
ii.) Jangka waktu 2 tahun akan dipergunakan DJP untuk memperbaiki dan mempersiapkan sistem dan administrasi
perpajakan sehingga FLN tidak diperlukan lagi.

14. KETENTUAN PERPAJAKAN PERTAMBANGAN DAN SYARIAH

Pasal 31D
Ketentuan perpajakan bagi bidang usaha:
a. pertambangan minyak dan gas bumi,
b. bidang usaha panas bumi,
c. bidang usaha pertambangan umum
d. bidang usaha berbasis syariah
e. diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.


Alasan perubahan:

i.) Kegiatan pertambangan memiliki karakteristik khusus sehingga perlu pengaturan tersendiri dalam PP.
ii.) Pengaturan kegiatan usaha berbasis syariah dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang sama dengan kegiatan
usaha konvensional.

15. FASILITAS PERPJAKAN BAGI UMKM ( pasal 31E )

WP badan dalam negeri dengan peredaran bruto s.d Rp50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.

Alasan Perubahan:

i.) Insentif ini diberikan untuk mendukung program Pemerintah dalam rangka pemberdayaan UMKM.
ii.) Mengurangi beban pajak bagi WP badan UMKM akibat penerapan tarif tunggal PPh badan

CONTOH 1 PENGHITUNGAN FASILITAS UMKM :

Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00.

Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
50% x 28% x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00


CONTOH 2 PENGHITUNGAN FASILITAS UMKM :

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00.

Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
- 50%x 28% x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
- 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp 705.600.000,00
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang Rp 772.800.000,00



3. Sesi Tanya Jawab :

Bapak Mekar Satria Utama sebagai moderator dalam sesi tanya jawab. Dalam sesi ini narasumber langsung menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak antara lain:

1. Pertanyaan dari Bapak Nur Waehedy, ( KPP PMA Lima )

a. ” Secara umum, sunset policy mengatur penghapusan sanksi yang berkenaan dengan PPh Orang Pribadi dan PPh Badan , sementara ada jenis SPT Tahunan lainnya yakni SPT Tahunan PPh Pasal 21. Apabila kami melakukan Pembetulan SPT PPh kemungkinan ada pengaruh terhadap PPh Pasal 21. Apakah PPh Pasal 21 yang turut berubah masuk kategori sunset policy ?


b. ” Apabila ada pembetulan pada PPh Badan kemungkinan akan mempengaruhi Pajak-pajak lainnya, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPN, Apakah pajak-pajak yang lainnya perlu untuk dibetulkan juga atau dilakukan equalisasi agar tidak dikenakan sanksi? ”

c. ” Selama ini perusahaan kami diaudit oleh akuntan. Apakah dalam melaksanakan sunset policy diperlukan Laporan keuangan yang diaudit oleh Akuntan ? Apakan Laporan tersebut perlu dilampirkan ? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito )

a. Objek Pajak sunset policy adalah PPh Orang Pribadi dan PPh Badan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sesuai dengan prinsip self assesment. Oleh karena itu PPh Pasal 21 tidak termasuk dalam sunset policy karena PPh Pasal 21 adalah pajaknya orang lain.

b.Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ) sangat menghargai niat baik Wajib Pajak untuk melaksanakan sunset policy. DJP tidak diperkenankan untuk melakukan law enforcement bagi Wajib Pajak yang melaksanakan sunset policy. Dalam bahasa hukum , tidak boleh mencari-cari kesalahan dari pengakuan kesalahan. Oleh karena itu Wajib Pajak hendaknya tidak takut melaksanakan sunset policy. Misalnya dilakukan pembetulan pada omzet/peredaran usaha dari 100 ( seratus ) milyar menjadi 150 ( seratus lima puluh ) milyar. Perubahan tersebut tentunya tidak hanya berupa penghasilan, tentu terdapat biaya-biaya. Mungkin terdapat perubahan pada jumlah biaya yang merupakan objek PPh pasal 21 atau perubahan pada jumlah peredaran usaha yang menjadi objek PPN.

Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ) dilarang mencari-cari kesalahan dari data-data yang dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT sunset policy. DJP hanya akan menerbitkan SKP/ STP jika jika ditemukan data-data yang nyata-nyata menunjukkan adanya penghasilan yang belum dilaporkan yang menimbulkan adanya pajak yang kurang dibayar. Dijelaskan dalam Pasal 39 ayat ( 1 ) huruf i Undang-undang KUP bahwa ”Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. ”

Upaya untuk mendapatkan sunset policy masih dapat dilaksanakan sepanjang pembetulan yang berpengaruh pada Objek Pajak Penghasilan yang seharusnya dipungut atau dipotong belum dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak sehingga tidak ada pajak yang dipotong atau dipungut. Hal ini juga berlaku bagi Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ), tidak akan ada masalah atau timbul sanksi sepanjang tidak ada PPN yang dipungut atau tidak disetor.

Wajib Pajak berhak mendapatkan fasilitas sunset policy dan atas Pajak-pajak lainnya tidak akan terbit sanksi lagi. Namun, apabila dilakukan pemotongan atau pemungutan namun tidak disetor ke kas negara maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi pasal 39 UU KUP. Sepanjang tidak dilakukan pemotongan atau pemungutan PPh atau PPN tidak boleh dilakukan law enforcement dan hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang larangan penerbitan SKP / STP;

c. Dalam melaksanakan sunset policy tidak memerlukan laporan keuangan yang diaudit oleh Akuntan. Wajib Pajak dapat langsung menyampaikan pembetulan dalam rangka sunset policy sepanjang laporan keuangan yang disampaikan sudah benar.

2. Pertanyaan dari Bapak Irwan Susilo, ( KPP PMA Tiga )

” Saya Wajib Pajak orang pribadi, mempunyai deposito di bank dan setiap bulan telah dilakukan Pemotongan PPh Pasal 4 ayat ( 2 ) atas bunga deposito namun dalam laporan SPT, pada lampiran harta, deposito tersebut tidak dilaporkan. Saya meminta bukti potong pada bank tetapi oleh pegawai bank tidak diberikan bukti potong. Pegawai bank menuturkan bahwa sebaiknya tidak minta bukti potong karena akan merepotkan di Kantor Pajak. Saya ingin melakukan sunset policy dan melaporkan deposito saya agar di kemudian hari saya tidak ditanya-tanya soal deposito tersebut, solusinya bagaimana? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito )

Inilah problem di negara kita, ada yang hendak berbuat baik tetapi dipersulit. Sunset policy syaratnya harus ada Pajak Penghasilan yang kurang bayar. Jadi harus ada pembayaran pajak penghasilan apabila ingin melaksanakan sunset policy. Pajak Penghasilan atas deposito bersifat final jadi tidak perlu dibetulkan.

Karena dalam sunset policy harus ada penghasilan yang belum kena pajak atau ada penghasilan yang belum dilaporkan hendaknya diteliti apakah ada penghasilan yang belum dikenakan pajak atau belum dilaporkan. Misalnya : Wajib Pajak mendapatkan warisan berupa harta yang berwujud rumah, tanah, kendaraan, deposito, dan lain-lain. Apabila atas penggunaan harta warisan tersebut Wajib Pajak memperoleh penghasilan, misalnya rumah hasil warisan dikontrakkan atau menyewakan kendaraan sehingga memperoleh penghasilan maka atas penghasilan tersebut harus dilaporkan dan atas pajak yang kurang bayar disetor untuk mendapatkan fasiltas sunset policy. Dalam sunset policy harus ada pokok pajak atau pajak penghasilan yang kurang dibayar dengan tujuan agar Wajib Pajak segera melaporkan data-datanya karena sesuai amanat pasal 35A UU KUP bahwa pada saatnya nanti semua data-data Wajib Pajak dapat diketahui.

3. Pertanyaan dari Ibu Deta, ( KPP PMA Tiga )

” Berkenaan dengan adanya perubahan pada UU PPh yang terbaru tentang saat terutang PPh Pasal 23 yang salah satunya menyebutkan bahwa saat terutang PPh Pasal 23 adalah saat disediakan untuk dibayarkan. Apa bedanya antara saat dibukukan dengan saat disediakan untuk dibayarkan karena selama ini jika sudah disediakan untuk dibayarkan maka sudah dibukukan? Apakah yang dimaksud saat disediakan untuk dibayarkan tersebut ? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Saefudin )

Selama ini sering terjadi dispute antara fiskus dengan wajib pajak tentang saat pajak terutang, salah satu contohnya adalah pada saat 31 Desember 2008, dimana akan dilaksanakan tutup buku maka sesuai dengan kaidah akuntansi bahwa jumlah pembayaran bunga yang jatuh tempo pada bulan Januari akan dibukukan ( dicatat ) sehingga sering terjadi dispute saat terutangnya pajak penghasilan atas bunga antara Wajib Pajak dengan fiskus. Oleh karena itu di Undang-undang PPh yang baru saat dibukukan tidak sama dengan saat pajak terutang. Salah satu saat terutang pajak adalah saat untuk disediakan dibayarkan.

Contohnya : Sebuah Perseroan Terbatas ( PT ) mendeklarasikan melakukan pembayaran dividen kepada para pemegang saham dan menyebutkan berapa jumlah keuntungan per saham yang akan dibayar maka saat itu telah ada dana yang disediakan untuk dibayarkan sehingga saat tersebut merupakan saat terutangnya pajak penghasilan 23.

4. Pertanyaan dari Bapak Bobby, ( KPP PMA Lima )

a. ” Sesuai dengan UU PPh dan diatur lebih lanjut dengan PP Nomor 51 Tahun 2008 bahwa pengenaan pajak atas jasa konstruksi bersifat final dengan tarif 6 % ( Wajib pajak bergerak di bidang usaha jasa konsultasi arsitek, kegiatan teknik dan rekayasa engineering ). Kami mempunyai klien, sebuah Peseroan Terbatas ( PT ) yang bergerak di bidang batubara. Klien kami memiliki perjanjian kontrak karya dengan pemerintah Indonesia bahwa tarif pemotongan pajaknya 10 %. Oleh karena itu kami dipotong 10 %. Menurut kami telah terjadi kelebihan pemotongan pajak. Bagaimana dengan kelebihan pembayaran pajak tersebut, mengingat pajak yang dipotong bersifat final? ”

b. ” Berkenaan dengan pasal 9 ayat ( 1 ) huruf c UU PPh tentang pemupukan dana cadangan. Dalam pelaksanaan usaha kami kemungkinan terjadi potensi salah gambar dalam perencanaan yang dapat mengakibatkan kerugian di masa depan. Apakah penyisihan biaya planning yang kami sisihkan akan masuk pengertian pasal 9 ayat ( 1 ) huruf c UU PPh ? ”

c. ” Kami melakukan pembukuan dengan tahun buku yang berbeda dengan tahun takwim yakni periode Bulan Juli sampai dengan Bulan Juni. Kapan kami dapat menikmati tarif tunggal yang diatur oleh UU PPh yang terbaru ? ”


Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito dan Bapak Saefudin )

a. Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2008 berlaku untuk semua bidang usaha jasa konstruksi sehingga tarif pemotongan pajak penghasilan atas jasa konstruksi harus sesuai dengan PP nomor 51 Tahun 2008. Mengingat kasus yang dialami oleh PT. T adalah kasus khusus dan sesuai kaidah hukum bahwa ” lex specialis derogat lex generalis “ ( apabila ada dua peraturan yang bertentangan dan mempunyai tingkatan hukum yang sama maka peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang bersifat umum ) maka untuk kasus pemotongan tersebut akan diteliti lebih lanjut dengan meneliti isi kontrak karya yang disebutkan.

Namun sesuai prinsip secara umum bahwa apabila pajak penghasilan dipungut atau dipotong lebih besar dari pajak yang seharusnya dibayar maka atas kelebihan pembayaran akan dikembalikan melalui restitusi oleh Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ). Jadi kesimpulannya untuk kasus yang dialami PT. T akan diteliti lebih lanjut terutama yang menyangkut kontrak karyanya dan dijawab secara khusus.

b. Yang diatur oleh pasal 9 ayat ( 1 ) huruf c UU PPh tidak berlaku pada semua jenis usaha namun hanya pemupukan dana cadangan pada bidang usaha tertentu yang mempunyai resiko tertentu yakni Bank, Badan Usaha lain yang menyalurkan kredit, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Lembaga Penjamin Simpanan, Usaha Kehutanan, Pertambangan dan Usaha Pengolahan Limbah Industri sehingga dana penyisihan yang disisihkan PT. T yang bergerak di bidang usaha jasa konsultasi arsitek, kegiatan teknik dan rekayasa engineering tidak termasuk dalam kategori biaya pengurangan yang berasal dari pemupukan dana cadangan yang dimaksud pasal 9 ayat ( 1 ) huruf c UU PPh. Pada dasarnya pemupukan dana cadangan dipersiapkan untuk sesuatu yang akan terjadi sehingga apabila suatu saat terjadi mungkin dana yang disisihkan oleh PT. T dapat mengurangi penghasilan netto melalui ketentuan pasal 6 UU PPh sepanjang biaya tersebut termasuk biaya yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

c. Karena tahun buku yang dipakai oleh Wajib Pajak berbeda dengan tahun takwim maka penentuan kapan Wajib Pajak akan dapat menikmati tarif tunggal sesuai tarif pasal 17 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 tergantung pada penetapan tahun pajak yang selama ini dianut Wajib Pajak. Apabila merujuk pada peraturan maka penentuan tahun pajak akan ditentukan sesuai jumlah bulan yang lebih banyak dalam periode pembukuan namun karena periode yang dianut Wajib Pajak adalah Bulan Juli sampai dengan bulan Juni sehingga jumlah bulan dalam periode pembukuan adalah sama-sama 6 ( enam ) bulan sehingga penentuan tahun pajak sesuai dengan tahun pajak yang dipilih dan dipakai Wajib Pajak pada saat pertama kali terdaftar sampai dengan penentuan tahun pajak yang terakhir. Jika selama ini pada periode Juli 2000 sampai dengan Juni 2001 memakai tahun pajak 2001 maka untuk tahun pajak 2009 baru dipakai Wajib Pajak pada periode Juli 2009 sampai dengan Juni 2010 sehingga Wajib Pajak terlambat untuk dapat menikmati tarif tunggal sesuai Pasal 17 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008.

5. Pertanyaan dari Bapak Sanusi, ( KPP PMA Tiga )

”Kami telah berusaha maksimal untuk melaksanakan kewajiban perpajakan kami dengan baik, kami melaporkan SPT sebaik mungkin. Kami bukan tidak tertarik untuk memanfaatkan sunset policy atau tidak karena kami merasa telah berusaha maksimal untuk memenuhi kewajiban kami sehingga tidak perlu ada yang diperbaiki. Berdasarkan keterangan Bapak Herry Sumardjito bahwa nanti akan dikumpulkan dan dikelompokkan Wajib Pajak yang memanfaatkan sunset policy dan yang tidak memanfaatkan sunset policy. Apabila nanti karena suatu hal ternyata kami diperiksa dan ditemukan koreksi-koreksi yang besar atau diketemukan atau terdapat data-data yang menunjukkan ada Penghasilan yang belum dilaporkan sehingga atau Pajak Penghasilan yang kurang bayar, apakah kami akan dikenakan sanksi yang berat? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito )

Pada dasarnya kebijakan sunset policy ditujukan kepada Wajib Pajak yang dalam tanda kutip “ tidak atau kurang benar ”. Apabila sudah melaksanakan kewajibannnya dengan maksimal maka jangan takut karena kemunginan dari data aman atau tidak ditemukan data-data yang menunjukkan adanya Penghasilan yang belum dilaporkan atau tidak ada Pajak Penghasilan yang kurang bayar.

Tapi alangkah baiknya jika diteliti lagi apakah ada kelupaan atau kealpaan. Apabila nanti diperiksa kemudian ditemukan banyak koreksi yang signifikan, jangan takut, sesuai ketentuan pasal 38 UU KUP bahwa ”Setiap orang yang karena kealpaannya :a.tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b.menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap , atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.” Jadi tidak akan langsung dikenakan sanksi pidana pasal 39 UU KUP namun dikenakan sanksi pasal 13A apabila baru dilakukan pertama kali karena sesuai usul dan pembahasan dengan DPR bahwa kalau baru pertama kali sebaiknya jangan langsung pidana karena kesalahannya baru pertama dan disebabkan lupa atau alpa dan tidak dilakukan dengan sengaja. Akan tetapi jumlah sanksi yang dikenakan cukup tinggi yakni dapat dikenakan sanksi kenaikan hingga 200 % dari pajak yang kurang dibayar sehingga jumlah yang harus dibayar Wajib Pajak bisa mencapi 300 % dari pokok pajak yang kurang dibayar.

Direktorat Jenderal Pajak mengharap agar Wajib Pajak tidak takut memanfaatkan peluang pasal 37A (sunset policy) sesuai dengan prinsip self assessment karena yang tahu benar atau salahnya adalah Wajib Pajak.

6. Pertanyaan dari Ibu Limianti, ( KPP PMA Lima )

“ Pada UU PPh tahun 2008, di pasal 23 mengenal 2 ( dua ) jenis tarif yakni 15 % dan 2 % untuk jasa konstruksi. Apa hubungan antara PP nomor 51 tahun 2008 yang juga mengatur PPh atas jasa konstruksi dengan tarif berbeda-beda ( tidak hanya 2 % sesuai Pasal 23 UU PPh ) dan bersifat final. Mengapa di Pasal 23 diatur dan dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 juga diatur ? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Saefudin )

Dalam ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan, pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan jasa konstruksi diatur di Pasal 4 ayat ( 2 ) dan di Pasal 23 juga diatur. Perlu diketahui bahwa dalam Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur tentang Objek Pajak atau amanat pengenaan pajak penghasilan sedangkan di Pasal 23 mengatur ketentuan umum tentang amanat/perintah pemotongan pajak penghasilan secara umum atas penghasilan yang berupa bunga, dividen, royalti dan jasa, dimana salah satu bentuk jasa adalah jasa konstruksi.

Ketentuan pasal 4 ayat ( 2 ) yang merupakan amanat pengenaan pajak penghasilan dengan perlakuan khusus atas beberapa jenis penghasilan tertentu yang bersifat final melalui Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka atas penghasilan jasa konstruksi diatur ketentuan tarif dan pemotongan pajak penghasilan atas jasa konstruksi melalui Peratuaran Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Jadi Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 terbit sebagai amanat Pasal 4 ayat ( 2 ) Undang-undang Pajak Penghasilan untuk mengatur objek pajak dengan perlakuan khusus. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 berlaku khusus dalam pemotongan pajak penghasilan atas jasa konstruksi dan berlaku untuk semua jenis jasa konstruksi. Oleh karena itu, pelaksanaan pemotongan pajak atas jasa konstruksi harus mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008.

Yang diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan adalah pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang berupa bunga, dividen, royalti dan jasa yang bersifat umum. Apabila tidak diatur pengenaan pajak penghasilan secara khusus dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan maka ketentuan yang dipakai adalah ketentuan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan. Dalam hal ini apabila tidak ada Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang ketentuan khusus tentang pemotongan pajak penghasilan atas jasa konstruksi maka ketentuan pemotongannya akan mengacu pada ketentuan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan namun jika ada Peraturan Pemerintah yang mengatur secara khusus maka ketentuan tentang pemotongan pajak penghasilan atas jasa konstruksi akan mengacu pada Peraturan Pemerintah tersebut dan bersifat final. Usaha di bidang konstruski mempunyai karakter yang khusus dimana dalam ketentuan pemotongan pajak penghasilan diatur secara khusus, kemudian diatur secara umum, kemudian kembali diatur secara khusus lagi.

Jadi Peraturan Pemerintah mengatur pemtongan pajak penghasilan secara khusus sedangkan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur ketentuan pemotongan pajak penghasilan secara umum.

7. Pertanyaan dari Ibu Nita, ( KPP PMA Tiga )

a. “ Wajib Pajak Orang Pribadi tidak mempunyai NPWP mendapatkan NPWP di tahun 2008. Apakah Wajib Pajak tersebut mendapatkan sunset policy di tahun-tahun sebelumnya? Sejak kapan Wajib Pajak harus membuat SPT untuk tahun-tahun sebelumnya ? ”

b. “ Saya membaca koran Bisnis Indonesia pada kolom pajak bahwa Istri yang kawin dengan tidak pisah harta tidak wajib ber-NPWP. Penghasilannya digabung dengan suami (suami yang ber-NPWP). Pada kesimpulannya disebutkan bahwa ‘ Dikecualikan dari penggabungan penghasilan dari istri untuk suami istri apabila pajak penghasilan istri telah selesai dipotong oleh pemberi kerja.’ Apakah Istri wajib ber-NPWP ? ”

c. “ Untuk fasilitas biaya pengurangan, bahwa di Undang-Undang PPh Tahun 2008 disebutkan jika ada beberapa jenis dana sumbangan dapat dijadikan sebagai biaya pengurang penghasilan netto. Perusahaan kami memberikan sumbangan untuk dana penanaman pohon. Apakah sumbangan tersebut dapat termasuk biaya pengurang penghasilan netto? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito dan Bapak Saefudin )

a. Wajib Pajak baru mendapat NPWP pada tahun 2008. Bahwa sesuai dengan pasal 2 ayat ( 1 ) bahwa “ Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. “

Kewajiban perpajakan dimulai saat terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif. Yang paling tahu kapan terpenuhinya syarat-syarat tersebut adalah Wajib Pajak sendiri ( sesuai prinsip self assesment ). Jangka waktu daluwarsa pajak adalah 10 ( sepuluh ) tahun, maka sebaiknya diteliti kembali penghasilan-penghasilan di tahun-tahun sebelumnya untuk menentukan kapan saat terpenuhinya syarat subjektif dan syrarat objektif. Jika memang penghasilannya hanya berasal dari satu pemberi kerja dan telah dipotong sesuai peraturan perpajakan maka tidak perlu menyampaikan SPT dari tahun-tahun sebelumnya namun jika Wajib Pajak mempunyai usaha bebas atau mendapat penghasilan lainnya yang belum dilaporkan maka harus menyampaikan SPT dalam rangka sunset policy karena biaya PTKP telah dinikmati dalam pemotongan PPh pasal 21 yang telah dipotong dari pemberi kerja maka penghasilan lainnya yang belum dilaporkan dapat langsung dikenakan pajak sehingga ada pajak yang kurang dibayar. Jadi SPT yang disampaikan sesuai dengan tahun-tahun dimana terdapat penghasilan-penghasilan yang belum dilaporkan yang menyebabkan timbulnya pajak yang kurang dibayar.

b. Sesuai pasal 8 UU PPh bahwa sistem pengenaan pajak menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh suami (kepala keluarga). Penghasilan dari istri akan digabung dengan penghasilan suami. Namun apabila istri mendapat penghasilan dari 1 ( satu ) pemberi kerja dan pajak penghasilannya dipotong dengan perhitungan PTKP bahwa status istri adalah TK atau tidak kawin sehingga pajak penghasilannya sudah dianggap selesai dan sesuai dengan peraturan perpajakan maka penggabungan penghasilan tidak dilakukan.

Dalam Undang-undang PPh yang baru hak untuk menjalankan kewajiban pajak diperluas sehingga kalau dari 1 ( satu ) pemberi kerja sifatnya memilih, demi kemudahan penghasilan istri dapat digabung atau dipisah. Jadi istri tidak wajib ber-NPWP dengan syarat bahwa penghasilannya digabung atau masuk ke suami ( suaminya sudah ber-NPWP ).

c. Untuk sumbangan penanaman pohon tidak boleh dibiayakan sebagai biaya pengurang penghasilan netto karena ketentuan Undang-undang PPh yang baru mengatur bahwa yang boleh dibiayakan adalah sumbangan untuk penanggulangan bencana nasional, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan dan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur oleh peraturan pemerintah. Sumbangan yang dimaksud di undang-undang ditujukan untuk manusia yang membutuhkan dana sehingga sumbangan penanaman pohon tidak termasuk kategori biaya pengurang pada pasal 6 UU PPh Tahun 2008.

8. Pertanyaan dari Bapak Heru, ( KPP PMA Lima )

a. “ Salah satu kabar gembira dengan adanya sunset policy adalah tidak akan diperiksa. Ada sebuah pertanyaan, apakah kebijakan ini tidak akan berubah apabila para pejabat pemerintahannya berganti ? Kami takut apabila nanti kebijakannya berubah maka akan diperiksa lagi. ”

b. ” Periode Sunset ( matahari terbenam ) tidak menentu terkadang pukul 6 ( enam ) atau bahkan pukul 8 ( delapan ) malam. Melihat begitu banyak manfaatnya sunset policy, apakah kebijakan ini tidak dapat diperpanjang ? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito )

a. Janji tidak akan diperiksa diatur pada pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2008. Sesuai dengan amanat pasal 37A UU KUP bahwa ketentuannya pengurangan atau penghapusan sanksi diatur oleh peraturan menteri keuangan, maka terbit Peraturan Menteri Keuangan ( PMK ) Nomor 66/PMK.03/2008 tahun 2008 dan di pasal 5 PMK Nomor 66 Tahun 2008 diatur bahwa ” Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali: a. terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut tidak benar; atau b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menyatakan lebih bayar atau rugi ” .

Di sini disebutkan dengan jelas bahwa tidak akan diperiksa terkecuali diketemukan data-data atau keterangan yang nyata-nyata menunjukkan bahwa SPT yang disampaikan tidak benar . Data atau keterangan tersebut bukan hasil dari rekayasa atau analisis-analisis. Tidak perlu takut apabila terjadi pergantian pemerintahan akan terjadi perubahan kebijakan dan peraturan karena sesuai aturan hukum bahwa tidak boleh ada ” peraturan retroaktif ( peraturan yang berlaku surut ) ” terkecuali peraturan tersebut menguntungkan Wajib Pajak misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, berlaku surut karena menguntungkan Wajib Pajak karena memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha Jasa Konstruksi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

b. Sesuai ketentuan pasal 37A UU KUP bahwa kebijakan sunset policy hanya berlaku 1 ( satu ) tahun atau berakhir pada 31 Desember 2008. Sehingga tidak ada perpanjangan untuk sunset policy.

9. Pertanyaan dari Bapak Erwin, ( KPP PMA Lima )

a. “ Kami hendak melakukan sunset policy, ketika sudah melakukan sunset policy ternyata ada penambahan rugi, misalnya dari 10 Milyar ternyata ada penambahan rugi 2 Milyar. Apakah kami dapat memanfaatkan sunset policy ? ”

b. ” Apabila dalam memanfaatkan sunset policy terdapat kredit pajak PPh Pasal 23 dan atas kredit pajak tersebut belum dikreditkan. Apakah dalam fasilitas sunset policy, kredit pajak tersebut dapat dikreditkan ? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito )

a. Sunset policy hanya dapat dilakukan jika menimbulkan adanya pajak penghasilan yang kurang dibayar yang disebabkan adanya penghasilan yang belum dilaporkan dan atau belum dikenakan pajak penghasilan atau rugi menjadi lebih kecil yang menyebabkan adanya pajak penghasilan kurang bayar. Sunset policy tidak dapat dimanfaatkan jika SPT yang disampaikan menyebabkan pajak penghasilan menjadi lebih bayar atau penghasilan lebih kecil atau rugi menjadi lebih besar.

b. Kredit pajak dapat dikreditkan dalam fasilitas sunset policy sepanjang kredit pajak tersebut belum dikreditkan dan didukung data-data yang sah dan juga melaporkan pajak penghasilan lainnya dengan benar.

10. Pertanyaan dari Bapak Ronny, ( KPP PMA Tiga )

“ Wajib Pajak sedang diperiksa. Apakah Wajib Pajak masih dapat melakukan sunset policy? Apa keuntungan yang akan diperoleh Wajib Pajak? “

Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito )

Meskipun sedang diperiksa Wajib Pajak masih dapat memanfaatkan sunset policy sepanjang Wajib Pajak belum menerima SPHP ( Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan ). Wajib Pajak dapat segera menyampaikan SPT yang sudah dibetulkan ke Kantor Pelayanan Pajak. Oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, SPT yang disampaikan Wajib Pajak tersebut akan disandingkan dengan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh pemeriksa. Jika hasil perbandingan menunjukkan bahwa hasil pembetulan SPT menyebabkan Pajak yang kurang dibayar jumlahnya lebih besar daripada jumlah Pajak yang kurang dibayar hasil temuan pemeriksa maka pemeriksaan akan dihentikan namun sebaliknya jika hasil pembetulan SPT menyebabkan Pajak yang kurang dibayar jumlahnya lebih kecil daripada jumlah Pajak yang kurang dibayar hasil temuan pemeriksa maka pemeriksaan akan dilanjutkan.

Keuntungan yang didapat dari memanfaatkan sunset policy sangat banyak untuk disebutkan satu per satu, namun yang jelas Wajib Pajak mendapatkan penghapusan sanksi administrasi bunga dan tidak diperiksa terkecuali diketemukan data-data atau keterangan yang nyata-nyata menunjukkan bahwa SPT yang disampaikan tidak benar.

11. Pertanyaan dari Bapak Erikson, ( KPP PMA Tiga )

a. “ Ada rumor bahwa SPT Tahunan PPh Pasal 21 belum diatur kapan jatuh tempo pelaporannya. Apakah bersamaan atau mengikuti jatuh tempo pelaporan SPT PPh Orang Pribadi atau SPT PPh Badan? Apakah SPT PPh Pasal 21 dilaporkan bulan April 2009 mengikuti SPT Tahunan PPh Badan atau dilaporkan pada bulan Maret 2009 mengikuti SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ? ”

b. “ Sesuai dengan UU PPh yang terbaru, bahwa tarif pemotongan PPh Pasal 21 dikenakan 20 % lebih tinggi untuk Wajib Pajak karyawan yang tidak ber-NPWP. Apabila karyawan mendapatkan NPWP pada bulan Maret 2009. Maka perhitungan PPh Pasal 21 pada bulan Januari 2009 dan Februari 2009 dipotong sesuai tarif pada UU PPh yakni 20 % lebih tinggi dari PPh bagi Wajib Pajak Karyawan yang ber-NPWP. Apakah pada akhir tahun perlu dilakukan perhitungan kembali atas PPh Pasal 21 yang dipotong karena kemungkinan ada PPh Pasal 21 yang lebih tinggi sehingga timbul kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 ? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito dan Bapak Saefudin )

a. Ketentuan jatuh tempo pelaporan SPT Tahunan PPh Pasal 21 tidak diatur oleh Undang-Undang KUP yang baru sehingga kewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh Pasal 21 akan dihilangkan. Kewajiban lapor tersebut akan dihilangkan mulai tahun pajak 2009 sehingga untuk SPT Tahunan PPh Pasal 21 masih dilaporkan untuk tahun pajak 2008 dan jatuh temponya pelaporannya adalah bulan Maret 2009. Untuk memudahkan Wajib Pajak maka Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ) melalui unit Direktorat Tranformasi Proses Bisnis ( TPB ) akan berusaha membuat semacam aplikasi untuk mempermudah Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya agar tidak membebani Wajib Pajak, dalam hal ini agar Wajib Pajak tidak harus membuat bukti potong PPh Pasal 21 tiap bulan.

b. Wajib Pajak Karyawan memperoleh NPWP pada bulan Maret 2009 sehingga pada bulan Januari 2009 dan Februari 2009 dikenakan tarif pemotongan 20 % lebih tinggi sesuai dengan UU PPh yang baru sehingga pemotongan yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga Wajib Pajak tidak dapat mengklaim adanya kelebihan pajak yang telah dipotong.

12. Pertanyaan dari Bapak Victor, ( KPP PMA Tiga )

“ Saya mempunyai pimpinan yang akan memanfaatkan sunset policy atas penghasilan tahun pajak 2003. Karena pada tahun tersebut bertepatan dengan diselenggarakannya Pemilu maka pimpinan saya melaporkan harta yang seharusnya tidak ada atau tidak dimiliki pimpinan saya. Pimpinan saya mau memanfaatkan sunset policy akan tetapi takut jika diperiksa, kemudian ditanya asal-usul harta tersebut. Jadi sekarang pimpinan saya masih ragu-ragu untuk memanfaatkan sunset policy tetapi juga takut jika di kemudian hari hartanya tadi diperiksa ? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito )

Wajib Pajak tidak dibenarkan mencari-cari alasan yang aneh. Untuk memanfaatkan sunset policy Wajib Pajak cukup memasukkan SPT dan mengisi data-data dengan benar serta membayar pajak yang kurang dibayar, kalau tidak mempunyai harta maka dilaporkan tidak mempunyai harta. Tidak perlu takut diperiksa. Filosofi pajak bahwa pajak tidak mau menghukum atau memidanakan masyarakat Wajib Pajak yang telah berperan serta dalam membangun negara. Hukuman hanya akan dikenakan untuk kasus-kasus tertentu yang material atau demi meneingkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Kalau kita lihat Undang-undang KUP maka kita akan menemukan banyak pasal-pasal yang meringankan Wajib Pajak serta memungkinkan agar Wajib Pajak tidak dipidana. Pada Pasal 37A Undang-undang KUP yang diatur lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2008 dimana Wajib Pajak diberi kesempatan penghapusan sanksi adminitrasi bunga dan tidak diperiksa atau dihentikan pemeriksaannya jika Wajib Pajak mau membetulkan SPT, melaporkan semua penghasilan dan harta-hartanya serta membayar pokok pajak yang kurang dibayar.

Apabila Wajib Pajak dikarenakan kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau SPT-nya tidak benar sesuai ketentuan pasal 13A Undang-undang KUP apabila kealpaannya baru dilakukan pertama kali, Wajib Pajak dapat membayar pokok pajak yang kurang dibayar beserta sanksi kenaikan 200 % dari jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar sebagai ganti agar Wajib Pajak tidak dipidana. Pada Pasal 8 ayat ( 3 ) Undang-undang KUP meskipun sudah diperiksa tetapi belum dilakukan penyidikan, Wajib Pajak masih diberikan kesempatan untuk mengungkap sendiri ketidakbenarannya dan cukup membayar pokok pajak yang kurang dibayar serta denda 150 % dari pajak yang kurang dibayar agar tidak dilakukan penyidikan tindak pidana perpajakan. Meskipun sudah dilakukan penyidikan, sesuai pasal 44B UU KUP, Wajib Pajak dapat memohon kepada Menteri Keuangan agar meminta penghentian penyidikan kepada pihak kejaksaan dengan cara membayar pokok Pajak yang kurang dibayar serta denda 4 ( empat ) kali dari pajak yang kurang dibayar. Jadi Wajib Pajak tidak usah khawatir atau ketakutan akan dikenakan sanksi yang berat.

13. Pertanyaan dari Bapak Reno, ( KPP PMA Lima )

“ Pada UU PPh yang baru dtentukan besaran tarif progresif untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan tarif tunggal untuk Wajib Pajak Badan. Tarif tersebut mengalami penurunan tarif yang signifikan dan perubahan lapisan penghasilan pada Wajib Pajak Orang Pribadi. Apakah penurunan tersebut juga berpengaruh pada tarif pajak penghasilan atas pensiun?

Jawaban : ( Oleh Bapak Saefudin )

Tarif pemotongan pajak penghasilan atas pensiun sesuai dengan Pasal 21 UU PPh akan diatur secara khusus melalui Peraturan Pemerintah dan bersifat final. Dengan adanya penurunan tarif pajak penghasilan maka akan dipertimbangkan agar tarif pajak penghasilan atas pensiun akan mengikuti penurunan tarif.

14. Pertanyaan dari Ibu Lujeng, ( KPP PMA Tiga )

“ Kami begerak di bidang otomotif. Kami memiliki kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk promosi. Pihak tersebut menyediakan tempat untuk promosi dan kami mempromosikan produk kami. Dalam kerjasama tersebut tidak ada pembayaran atas penyediaan tempat atau biaya promosi. Sebagai timbal balik, pihak penyedia mendapatkan image di masyarakat dan kami dapat mempromosikan produk kami. Apakah ada kewajiban memotong PPh Pasal 4 ayat ( 2 ) ? Pihak Otomotif mendapat tempat promosi dan penyedia tempat dalam hal ini Free Magazine ( stasiun radio ) dapat image. Kerjasama tersebut berawal dari adanya promo hadiah bagi konsumen dimana para konsumen adalah pendengar atau penggermar radio tersebut. ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Herry Sumardjito dan Bapak Saefudin )

Melihat bahwa kasus tersebut bersifat khusus dan spesifik serta menyangkut Wajib Pajak tertentu maka atas kasus tersebut akan dijawab secara khusus.

15. Pertanyaan dari Ibu Sri, ( KPP PMA Tiga )

a. ” Apabila Perusahaan saya mengirim pegawai yang belum ber-NPWP ke luar negeri maka atas pegawai tersebut akan dikenakan Fiskal Luar Negeri ( FLN ). Apakah Fiskal Luar Negeri dibayar perusahaan dapat menjadi prepaid tax ( kredit pajak ) bagi perusahaan kami ? ”

b. ” NPWP yang dimiliki istri yang tidak melakukan perjanjian pisah harta mempunyai kode cabang 001. Apabila suatu saat berpisah bagaimana kewajiban NPWP istri ? ”

Jawaban : ( Oleh Bapak Saefudin )

a. Sesuai peraturan yang ada bahwa atas biaya Fiskal Luar Negeri yang dibayarkan oleh perusahaan/pemberi kerja dalam rangka pengiriman pegawai perusahaan ke luar negeri merupakan pembayaran pendahuluan Pajak Penghasilan yang dapat diperhitungkan dengan jumlah Pajak Penghasilan terutang dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak yang bersangkutan sehingga pembayaran Fiskal Luar negeri tersebut dapat menjadi prepaid tax atau kredit pajak bagi perusahaan yang mengirimkan pegawai tersebut. ( Peraturan Pemerintan Nomor 42 tahun 2000 )

b. NPWP yang dimiliki istri yang tidak melakukan perjanjian pisah harta berstatus cabang dimana NPWP yang dimiliki sama dengan milik suami dengan kode 001. Apabila suatu saat berpisah maka perlu diketahui dulu apa penyebab pisahnya. Jika pisahnya karena suami meninggal, maka timbul Subjek Pajak baru yakni Subjek Pajak warisan yang belum dibagi dengan NPWP yang berdiri sendiri sebagai ganti dari Wajib Pajak Orang Pribadi yang meninggal dunia, misalnya Subjek Pajak Warisan belum terbagi tuan A. Subjek Pajak warisan yang belum terbagi akan hilang atau hapus kewajiban pajaknya apabila telah selesai dibagi kepada ahli waris. Dalam hal ini istri atau anggota keluarga lainnya memperoleh harta warisan. Apabila setelah pisah sang istri masih memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif sebagaimana dimaksud dengan pasal 2 ayat ( 1 ) Undang-undang KUP maka istri wajib memiliki NPWP dengan cara mendaftar ke KPP tempat domisili.







Notulis,



Masrul Andriyanto